بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

DALAM MERAIH TUJUAN TIDAK BOLEH MENGHALALKAN SEGALA CARA

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh, Merdeka !!!!

Apakah kita pernah mendengar ungkapan “Yang penting niat dan tujuannya baik”, itulah ungkapan yang sering didengar dari para pelaku perbuatan yang menyaIahi syariat, ketika tidak lagi memiliki alasan lain. Ungkapan ini dijadikan tameng untuk menangkis teguran dan kritikan yang diarahkan kepadanya. Hmmmmm ………….. !!!

Bahkan ada yang menjadikan ungkapan ini sebagai landasan untuk melegalkan dan menghalalkan segala cara demi mewujudkan niat baiknya, baik dalam urusan dunia maupun agama. Misalnya, demi mewujudkan niat beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla, namun segala cara ditempuh termasuk cara yang mengandung bid’ah atau maksiat bahkan kriminal.

Sebagian yang lain ingin menegakkan agama dan membela kehormatan kaum Muslimin tetapi mereka menempuh cara-cara yang sangat buruk dengan melancarkan aksi teror, membunuh, menipu, mencuri, merampok bahkan ada yang melakukan bom bunuh diri.

Dalam urusan dunia, ada yang ingin menggenggam jabatan dan kedudukan, Namur dengan melegalkan suap, bohong ( menipu ) dan tindak kedzaliman. Kekayaan dan harta melimpah termasuk diantara yang menyilaukan banyak orang sehingga segala cara untuk meraihnya ditempuh, tanpa peduli halal dan haram.

Itulah sebagian fakta zaman sekarang ini, kehidupan materialis yang sangat terwarnai fitnah syubuhât dan syahawât. Yang menjadi pertanyaan kita adalah bagaimanakah status ungkapan ‘apapun dilakukan, yang penting niat dan tujuannya baik’ dalam pandangan Islam? Apakah tujuan yang baik boleh menghalalkan segala cara?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu dijelaskan terlebih dahulu sebuah kaedah masyhur dan agung yang berkaitan dengan tujuan (al-maqâshid) dan sarana (al-wasîlah) yang berbunyi :

الْوَسَائِلُ لَهَا أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ

Sarana memiliki hukum sama dengan tujuan(nya)

Sarana adalah sesuatu atau metode yang digunakan untuk meraih atau mewujudkan maksud dan tujuan. Maksud dari kaidah di atas adalah hukum sarana sama dengan hukum tujuannya. Jika tujuan yang dicapai hukumnya wajib, maka sarananya juga demikian hukumnya wajib. Bila tujuannya haram, maka sarana untuk mencapainya pun hukumnya juga haram. Dan apabila tujuannya bersifat mubah, sunat atau makruh, maka hukum sarananya begitu juga. Oleh karenanya, jika suatu kewajiban tidak mungkin terlaksana kecuali melalui suatu sarana tertentu, maka sarana (cara) tersebut wajib dilakukan. Dari sini terpahami betapa pentingnya sebuah sarana.

Oleh karena itu perlu di ketahui dan dipahami bahwa sarana itu terbagi dua :

  1. Sarana yang baik. Sarana inilah yang hukumnya sama dengan hukum tujuan atau maksud.
  2. Sarana yang tidak baik. Sarana ini tidak boleh dilakukan, meski tujuan dan niatnya baik. Sebab dalam agama Islam, maksud yang baik tidak bisa membolehkan atau menghalalkan sarana yang haram (terlarang), seperti mencuri untuk membelanjai keluarga. Mencuri hukumnya tetap haram, meski tujuannya bagus yaitu mencukupi kebutuhan belanja keluarga. Jadi, sarana yang haram tetap terlarang, sekalipun tujuannya baik.

Ini menunjukkan bahwa dalam syari’at islam, maksud yang baik harus digapai dengan sarana (cara) yang baik pula atau dibenarkan syariat. Sebab tujuan dan maksud tertentu tidak menghalalkan segala cara dan sarana, kecuali dalam kondisi yang sangat dhorurat, dan itu pun harus diukur sesuai dengan kadar kedaruratannya, tidak bebas.

Hal ini berdasarkan kaedah :

       الضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ

(Keadaan) yang dharurat menyebabkan sesuatu yang terlarang menjadi boleh

Dan kaidah lain yaitu :

         الضَّرُوْرَةُ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا

(Keadaan) dharurat diukur dengan kadarnya

Sebagai contoh :

Meminta-minta ( mengemis ) itu menurut ajaran Islam adalah perbuatan tercela ( hina ), tidak diperbolehkan oleh agama.  Namun dalam keadaan terpaksa melihat anak kelaparan, mencari pinjaman kesana kemari tidak didapatkan pertolongan dan untuk menyelamatkan sang anak yang harus mendapatkan makanan, terpaksa harus meminta belas kasih sesama, hal ini tentu lebih baik dari pada menipu, mencuri, merampok atau melakukan tindakan kriminal lain.

Namun manjadi berdosa jika meminta-minta ( mengemis ) menjadi sebuah profesi / pekerjaan sehari-hari, apapun dalih maupun alasannya.

Dengan demikian jelaslah bahwa kaidah ‘tujuan membolehkan segala cara” adalah sebuah kaedah yang keliru dan batil. Akan tetapi, kaedah yang benar adalah :

( الْغَايَةُ لاَ تُبَرِّرُ الْوَسِيْلَةَ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ )

Tujuan tidak membolehkan wasilah (cara) kecuali dengan dalil

Pengertiannya, bahwa tujuan (niat) baik tidak bisa begitu saja membenarkan (menghalalkan) sarana yang terlarang, kecuali bila ada dalil yang membolehkan sarana tersebut. Oleh karenanya, tidak diperbolehkan bagi seorang pun berdalih dengan niat atau tujuan baik untuk membolehkan sarana yang haram. Akan tetapi, ia harus memperhatikan maksud yang baik, sarana yang syar’i dan dampak yang baik sekaligus, dan bila terdapat dalil yang shahîh yang membolehkan melakukan sarana yang terlarang untuk mengaplikasikan, menyelamatkan dan memelihara tujuan yang baik, maka hukum tersebut hanya khusus untuk sarana itu saja, seperti berbohong untuk mendamaikan atau memperbaiki hubungan persaudaraan sesama Muslim, berbohong untuk menyelamatkan jiwa yang tidak berdosa dari bahaya, bohong (menipu) orang kafir dalam perang dan suami berbohong kepada istri demi terjalinnya keharmonisan dan kasih- sayang antara mereka berdua. Ini semua telah dijelaskan oleh hadits hadits yang shahîh. Nabi bersabda:

(لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ ويَقُولُ خَيْرًا ويَنْمِي خَيْرًا).

Bukanlah pembohong orang yang mendamaikan antara manusia, ia berkata baik dan menaburkan kebaikan “.

Tentang hadits ini, Ibnu Syihâb rahimahullah, termasuk perawi hadits ini mengatakan:

وَلَمْ أَسْمَعْ يُرَخَّصُ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُ النَّاسُ كَذِبٌ إِلاَّ فِي ثَلاَثٍ الْحَرْبُ وَالإِصْلاَحُ بَيْنَ النَّاسِ وَحَدِيثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيثُ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا.

“Saya tidak mendengar ada keringanan dalam suatu kebohongan yang dikatakan oleh manusia kecuali pada tiga perkara: dalam perang, mendamaikan antara manusia, pembicaraan suami kepada istrinya dan pembicaraan istri kepada suaminya”[1] .

Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 الْحَرْبُ خُدْعَةٌ

Peperangan adalah (berisi) tipu-daya [2]

Hukum asal kebohongan itu adalah haram, akan tetapi hukumnya beralih menjadi boleh dalam kondisi di atas demi mewujudkan tujuan yang baik. Sebagian ulama menjelaskan bahwa maksudnya bukan kebohongan murni, tetapi sekedar berbentuk ta’rîdh (ucapan yang tidak berterus-terang).

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama telah sepakat bolehnya mengelabui orang kafir dalam peperangan dengan cara apa saja yang mungkin dilakukan, kecuali bila terdapat padanya pembatalan perjanjian dan perdamaian, ini tidak di perbolehkan. Dalam hadits yang shahîh terdapat kandungan pengertian bolehnya melakukan kebohongan dalam tiga perkara, salah satunya: dalam perang. Ath Thabari rahimahullah berkata: “Kebohongan yang hanya diperbolehkan dalam perang adalah al-ma’ârîdh (tidak berterus-terang) bukan kebohongan murni, (kalau ini) hukumnya tidak boleh’, Imam Nawawi rahimahullah mengomentari : “Demikian pernyataan beliau. Walaupun yang kuat adalah bolehnya melakukan kebohongan murni, akan tetapi tentu melakukan ta’rîdh (tidak berterus-terang dalam berucap) adalah lebih afdhol (utama) Wallâhu a’lam” [3] .

Dari pemaparan ini, jelaslah jawaban pertanyaan di atas, apakah tujuan membolehkan segala sarana. Tentu saja, jawabanya: tidak!. Prinsip “Tujuan membolehkan segala cara” Itu bukanlah sebuah kaedah syar’i dan prinsip agama yang mulia, namun sebuah kaedah yang diadopsi dari seorang non-Muslim, yang tiada lain sumbernya dari teori yang di cetuskan oleh seorang politikus Yahudi yang bernama Niccolo Machiaveli yang berasal dari Italia yang hidup antara tahun (1469-1527 M), oleh karenanya kaedah ini dikenal dengan teori Machiaveli [4] .

Sebuah kaedah yang jelas kebatilannya, bertentangan dengan kaedah syari’ yang menjelaskan bahwa setiap amalan hanya diperbolehkan dan dihukumi sebagai amal sholeh apabila tujuannya baik, sarananya baik dan berdampak (berakibat) baik.

Di antara perkara yang menjelaskan kebatilan teori Machiaveli ini sebagai berikut [5] :

  1. Islam mengharuskan manusia memperhatikan sarana (cara) sebagaimana memperhatikan maqooshid (tujuan). Siapa saja yang hanya memperhatikan tujuan, tanpa mempedulikan sarana (cara pencapaiannya), berarti orang ini telah mengambil sebagian agama, sekaligus mengesampingkan sebagian aturan syar’i yang lain. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ ۚ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَٰلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰ أَشَدِّ الْعَذَابِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allâh tidak lengah dari apa yang kamu perbuat”.[al-Baqarah/2 : 85]

  1. Menyelisihi agama dalam pemilihan sarana (cara) seperti halnya menyelisihi agama dalam penentuan tujuan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih [an-Nûr/24:63]

Kata (أَمْرِهِ) dalam ayat di atas adalah sebuah kalimat nakirah (umum) yang diidhofahkan (sandarkan), maka menunjukkan makna yang umum, mencakup seluruh perkara yang berkaitan dengan sarana (cara) dan tujuan.

  1. Tidak diragukan lagi bahwa kaedah ini adalah faktor utama kerusakan kehidupan dunia, merajalelanya bermacam bentuk kezhaliman, kerusuhan dan kekacauan, dan kebinasaan manusia.

Berikut perkataan sebagian ulama Islam yang menjelaskan kebatilan kaedah yahudiyyah ini, menghalalkan segala cara demi tujuan :

Imam al ‘Iz Ibnu ‘Abdus Salâm rahimahullah berkata: “Tidak boleh mendekatkan diri kepada Allâh kecuali dengan bermacam maslahat dan kebaikan, dan tidak boleh mendekatkan diri kepada-Nya dengan suatu kerusakan dan kejahatan. Berbeda dengan para raja (penguasa) yang zhalim yang (manusia) mendekatkan diri kepada mereka dengan kejahatan, seperti merampas harta, pembunuhan, menganiaya manusia, menebarkan kerusakkan, menampakkan kebangkangan dan merusak negeri, dan tidak boleh mendekatkan diri kepada Rab (Allah) kecuali dengan kebenaran dan kebaikkan”[6] .

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Tidak setiap sebab (cara) yang (dengannya) manusia mendapatkan (pemenuhan) kebutuhannya disyariatkan dan diperbolehkan. Hanya diperbolehkan apabila maslahatnya lebih dominan dari mafsadah (kerusakan, bahaya)nya dari hal-hal yang diizinkan oleh syariat” .[7]

Itulah sebagian perkataan ulama Islam tentang bahaya dan larangan menghalalkan segala cara demi meraih tujuan. Kendatipun demikian hukumnya, akan tetapi kaedah yahudiyyah yang batil ini tetap masih banyak digunakan oleh sebagian kaum Muslimin. Mereka ini tidak mempertimbangkan dan memilih sarana dan cara yang syar’i (yang baik) demi mewujudkan tujuan dan cita-cita.

CONTOH NYATA PRAKTEK KAEDAH RUSAK INI SI TENGAH UMAT :
Sangat di sayangkan, sebagian orang yang ingin mengajak kepada islam dan memperjuangkan kehormatannya dengan menggunakan kaedah yang batil ini. Berikut beberapa contoh riilnya:

  1. Sebagian orang banyak menjual program-program sosial untuk meraih dan mengumpulkan pendanaan namun banyak disalah gunakan untuk kepentingan pribadi, kepentingan golongan, kepentingan politik, dll. Yang intinya ketika sarana ( dana ) diperoleh tidak disalurkan / didistribusikan kepada tujuan yang telah disampaikan.
  2. Bahkan yang lebih aneh lagi, munculnya orang orang yang menamakan diri mereka sebagai pejuang Islam dan pembela martabat kaum Muslimin (!) melalui cara melancarkan teror, intimidasi peledakan, bom bunuh diri, pembunuhan dan mencuri serta perampokan demi jihad (!?). Subhanallâh! Apakah kerusakan seperti ini dibenarkan oleh Islam? Benarkah aksi-aksi di atas termasuk jihad? Ya, benar, tetapi jihad di jalan setan, bukan jihad di jalan Allah yang Ar-Rahmân.

Tentu ini adalah perbuatan yang diharamkan oleh Islam, dan sungguh para pelakunya telah berbohong atas nama Allâh, Rasul-Nya dan agama yang mulia ini. Sebab dengan nekad, mereka menamakan kezhaliman dan perbuatan keji yang tidak manusiawi itu dengan jihad dan amar ma’ruf nahi munkar. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi alam semesta berlepas diri dari aksi-aksi tersebut dan mengutuk para pelakunya dan menghukumi mereka sebagai kaum khawârij dan para terorisme yang melakukan kerusakkan, menebarkan keresahan, kekacauan dan ketakutan di permukaan bumi ini. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا

Dan janganlah kamu melakukan kerusakkan di permukaan bumi setelah adanya kebaikan [Al-A’râf/7:56]

Islam tidak pernah menghalalkan pencurian dan perampokkan, sekalipun untuk tujuan baik, sebab Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allâh. Dan Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana [al-Mâidah/5: 38]

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allâh dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.[al-Mâidah/5:33]

Dan Allâh Azza wa Jalla telah mengharamkan bermacam bentuk kezdoliman, sebagaimana dalam hadits qudsi:

يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا

Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezhaliman atas diri-Ku, dan Aku haramkan juga di antara kamu, maka janganlah kamu saling menzhalimi [8]

PENUTUP :

Surat 24 ( Ibrahim ) :

لَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَّفَرْعُهَا فِيْ السَّمَاءِ ۙ٢٤

Ayat 24. Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit,

تُؤْتِيْ أُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ بِإِذْنِ رَبِّهَاۗ وَيَضْرِبُ اللّٰهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ ٢٥

Ayat 25. (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat.

وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيْثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيْثَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الْأَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ ٢٦

Ayat 26. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat (tegak) sedikit pun.

يُثَبِّتُ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَفِى الْاٰخِرَةِۚ وَيُضِلُّ اللّٰهُ الظّٰلِمِيْنَۗ وَيَفْعَلُ اللّٰهُ مَا يَشَاءُ ؑ٢٧

Ayat 27. Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh (dalam kehidupan) di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.

Demikian, semoga kita semua dibimbing oleh Allâh SWT untuk mempelajari ilmu yang bermanfaat dan mengamalkanya, dan untuk selalu memperhatikan niat (tujuan) yang baik, sarana yang baik dan dampak yang baik dalam setiap amalan yang kita lakukan. Sebab, itulah amalan yang disyariatkan oleh agama. Syaria’t Islam yang sempurna dan mulia ini datang dengan membawa maksud yang baik, sarana yang baik dan memperhatikan akibat (dampak) yang baik dan melarang dari seluruh niat yang tidak baik, sarana yang keji dan dampak negatif. Wallâhu a’lam.

Walhamdulillah, Merdeka !!!

Fathullah Darussalam.


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *